Ibnu Sina dan Sejarah Hidup Dokter Serba Bisa

-fakta tokoh-
FaktaTokoh.Com- Biografi seingkat Ibnu Sina dilahirkan di Desa Afshanah (Sebelah utara Iran), tidak jauh dari kota Bukhara yang nantinya menjadi persinggahan Ibn Sina beserta seluruh anggota keluarganya. Di kota Bukhara Ibn Sina banyak belajar kepada sejumlah guru yaitu Al-Natili seorang sufi Ismaili.

Ibn Sina dapat mempelajari filsafat dan kedokteran secara autodidaktif. Pada usianya yang keenam belas, Ibn Sina menempati posisi istimewa dalam ilmu kedokteran “sehingga banyak dokter yang berguru kepadanya”. 

Ibnu Sina


Menurut Ibn Sina, kedokteran bukanlah bidang ilmu yang rumit. Tapi yang sulit adalah metafisika. Dia mengaku membaca Metaphysics karya Aristoteles sebanyak empat piluh kali, namun belum bisa memahami maksud penulisnya.

Sampai akhirnya,  dia menemukan  risalah Al-Farabi yang berjudul On the Intentions of the Metaphysics. Selepas membacanya, barulah dia memperoleh kejelasanan mengenai apa itu metafisika. Risalah Al-Farabi ini telah pula berhasil menyingkap apa yang tersembunyi dari buku Aristoteles tersebut, yang konon sudah dihafalnya kata per kata.

Pada usia 21 tahun, Ibn Sina mulai menuangkan gagasan-gagasaannya secara tertulis. Berbagai tulisan itu menurut versi modern  berjumlah 276 buah mencakup seluruh kajian filosofis, saintifik, kedokteran, dan bahkan kebahasaan. Karya-karya Ibn Sina paling bernas dan sistematik diantara semua karya berbahasa Arab, dalam skala yang lebih kecil, berbehasa Persia. Hampir semua karya itu masih ada sampai sekarang

Biografi Ibnu Sina


Abu ‘Ali Sina yang dikenal di dunia Barat dengan sebutan Avenna dan diberi gelar “Pangeran para dokter” dilahirkan pada 370 H /980 M di dekat Bukhara. Sang ahli hikmah yang kemudian menjadi tokoh paling berpengaruh dalam seni dan ilmu pengetahuan Islam dan yang memperoleh gelar Al-Syaikh al-Ra’is (Pemimpin Orang-Orang Bijak) dan Hujjat al-Haqq (Bukti Sang Kebenaran), yang masih dikenal dengan gelar itu, memperlihatkan bakat luar biasa atas pengetahuan sejak usia dini.

Ia beruntung karena ayahanya, seorang penganut Isma’iliyah, sangat memperhatikan pendidikannya dan kerana rumahnya merupakan tempat pertemuan para sarjana dari dekat dan daerah jauh. Ibnu menguasai keseluruhan Al-Quran, dan juga tatabahasa, saat memasuki usia sepuluh tahun, lalu mempelajari logika dan matematika.

Untuk pelajaran yang terakhir ia bimbing oleh Abu’ Abdillah al-Natilli. Setelah menguasai pelajaran peljaran ini dengan cepat lalu mempelajari fisika, matematika, dan kedokteran bersama Abu Sahl al-Masihi. 

Pada usia enam belas tahun ia telah mahir dalam semua ilmu pengetahuan pada masanya, kecuali metafisika. Tapi setelah Ibnu menemukan komentar al-Farabi terkait metafisika-nya Aristoteles , Ibn Sina menjadi mengerti metafisika.

Sejak saat itu, Ibnu Sina tidak perlu lagi belajar “meluas” tapi hanya perlu meningkatkan pemahamannya secara “mendalam” ats apa yang sudah dipelajari pada saat ia memasuki usia delapan belas tahun.

Kenyataannya, ketika ia memasuki usia senja dalam kehidupannya, ia pernah menyatakan kepad muridnya, al-Juzjani, bahwa dalam seluruh tahun yang dilaluinya ia telah mempelajari tidak lebih dari yang ia ketahui sebagai seorang pemuda berusia delapan belas tahun.

Keahlian Ibnu Sina dalam bidang kedokteran telah membuatnya disukai pemerintah. Pintu-pintu perpustakaan istana terbuka lebar untuknya dan ia mendapat posisi terhormat di istana. Tapi tekanan kekacauan politik di Asia Tengah yang disebabkan oleh bangkitnya kekuatan Mahmud al-Ghaznawi membuat kehidupannya menjadi sulit dan tidak betah di provinsi tempat tinggalnya, kemudian memaksa Ibn Sina meninggalkan Bukhara menuju Jurjaniyah hingga akhirnya ia sama sekali meninggalkan daerah tersebut menuju Jurjan (Georgia).

Pada tahun 403 H/1022M, di tengah kesulitan besarnya, ketika sejumlah rekannya meninggal dunia, Ibn Sina menyeberangi gurun menuju Khurasan. Menurut otoritas-otoritas yang paling tradisional, ia mengunjungi wali sufi terkenal, Abu Sa’id bin Abi al-Khair, sebelum sampai ke Jurjan, tempat ia berharap bisa bertemu dengan pelindung kesenian terkenal, Qabus Ibnu Wushmgir. Tapi ketika sampai , ia mendapatkan orang yang akan dijadikan pelindungnya telah meninggal.

Kecewa dengan ketidakberuntungan ini, ia mengasingkan diri ke sebuiah desa untuk beberapa tahun dan kemudian pindah ke Rai pada kurun waktu antara 405 M/1014 H dan 406 H/1015 M. Pada  saat itu Persia berada di bawah kekuasaan Dinasti Buwaih.

Banyak anggota keluarganya yang memerintah berbagai provinsi dari negara tersebut. Ibnu Sina pernah menghabiskan waktunya di istana Fakhr al-Dawlah di Rai dan kemudian pindah ke Hamadan untuk bertemu dengan anggota keluarga dinasti ini, yaitu Syams al-Dawlah.

Pertemuan ini memudahkan hidupnya, karena segera setelah kedatangannya di kota tersebut iaa diminta untuk mengobati penguasa yang sedang sakit. Syams al-Dawlah sembuh dan Ibnu Sina sangat disukai di Istana hingga ia diangkat menjadi wazir, sebuah posisi dengan tugas-tugas berat yang harus dilaksanakannya selama beberapa tahung sehingga sang penguasa meninggal.

Lalu keberuntungan politisnya memburuk, dan ketika ia menolak untuk meneruskan jabatannya sebagai wazir, ia dipenjara. Ia baru bisa keluar dengan memanfaatkan pengepungan Hamadan, dan kemudian menyamar dengan berpakaian sebagai dervish (guru sufi). 

Setelah membebaskan diri setidaknya dari keterkaitannya di Hamadan, Ibnu Sina keluar menuju Isfahan, yang sebagai pusatnya  pembelajaran , ia telah ditunggu kedatangannya selama beberapa tahun.

Di Isfahan ia mengabdi pada ‘Ala’ al-Daulah dan menikmati kedamaian  dalam periode lama di kota tersebut. Hal ini bertahan selama lima belas tahun. Sepanjang waktu itu ia menulis banyak karya penting, bahkan mulai mempelajari astronomi serta membangun sebuah observatorium.

Tapi, kedamaian sementara dari huru-hara ini diganggu oleh invasi Isfahan oleh Masud, putra Mahmud al-Ghaznawi, yang telah memaksa Ibnu Sina meninggalkan kediaman asalnya ketika muda. Peristiwa itu merupakan sebuah invasi yang membuat banyak karya hikmah hilang.

Karena sangat terganggu dengan kondisi ini dan menderita akibat serangan penyakit perut, ia kembali lagi ke Hamadan tempat ia mengakhiri hayatnya pada 428 H/1037 M dan tempat pusaranya masih bisa ditemukan saat ini.

Demikian ia mengakhiri kehidupan yang menyaksikan berbagai politik dan ia sendiri menjadi sasaran banyak kesulitan. Ibnu Sina mengalami berbagai kehidupan yang naik dan yang turun, banyak hari hari bahagia, tapi juga merasakan banyak kesulitan dan penderitaan. Ia sering bertindak sebagai dokter bagi para bangsawan  sehingga membuatnya pada kehidupan sosial yang sangat aktif.

Pada suatu kesempatan bahkan ia mengemban tanggung jawab mengatur negara. Tapi, pada saat yang sama ia menjalani kehidupan intelektual yang intensif, seperti ditunjukkan oleh sejumlah karyanya berikut karakternya sekaligus kualitas  murid-muridnya.

Ia adalah sosok yang memiliki kekuatan fisik, menghabiskan malam-malam yang panjang dalam pesta-pesta yang meriah lalu kembali untuk menulis risalah-risalah tentang berbagai persoalan filsafat dan ilmu pengetahuan.

Ia merupakan pribadi yang memiliki kekuatan konsentrasi luar biasa, yang bisa mendiktekan karya karyanya kepada seorang juru tulis sambil duduk di atas punggung kuda bersama raja menuju pertempuran.

Pada kenyataannya tidak ada gangguan dunia eksternal yang tampak mempengaruhi produk intelektualnya. Ia juga merupakan tokoh yang meleburkan diri ke dalam kehidupan duniawi baik dalam kehidupan politik maupun dalam kehidupan istana. ia mampu meletakkaan dasar filsafat skolastik era pertengahan, mensintesiskan tradisi kedokteran Hippokratik dan Galenik serta mempengaruhi seni dan ilmu pengetahuan Islam pada tingkat yang tidak bisa dilakukan oleh tokoh lain sebelum dan sesudahnya.

Tulisan-tulisan Ibnu Sina, sebagian dari semua karya yang mendekati 250 karya masih ada jika juga menghitung  seluruh wilayah kecil serta karya susastranya, nyaris berbicara tentang setiap ilmu yang dikenal dunia era pertengahan. Karya-karya ini sebgaian berbahaasa Arab, tetapi sebagian kecil dalam bahasa Persia, seperti Danisnamah-i ‘ala’i (Buku Ilmu Pengetahuan yang dipersembahkan kepada ‘ al-Dawlah).

Karya Ibnu Sina

Ia merupakan karya filsafat pertama di Persia modern. Gaya Bahasa Arab Ibnu Sina dalam karya-karya awalnya agak rumit dan tidak jelas. Hanya setelah lama tinggal di Isfahan ketika mendapat kritik dari para ahli sastra tertentu, ia mulai mempelajari literatur Bahasa Arab secara intens, gayanya diperhalus dan disempurnakan. Karya-karya yang ditulis belakangan dalam kehidupannya, khususnya Al-Isyarat wa al-Tanbihat, menunjukkan perubahan tersebut.

Karya-karya filsafat Ibnu Sina meliputi mahakarya Paripatetiknya Al-Syifa’ (penyembuhan), Sufficientia dalam bahasa Latin, yang merupakan ensiklopedia pengetahuan terbesar yang pernah ditulis manusia, Al-Najat (Pembebasan), yang merupakan ringkasan Al-Syifa, ‘Uyun Al-Hikmah (Sumber-Sumber kebijaksanaan), dan karya terakhir sekaligus karya terbesarnya Al-Isyarat wa al-Tanbihat (Petunjuk-petunjuk dan peringatan-peringatan). Disamping itu, ia menulis banyak tentang logika, psikologi, kosmologi, dan metafisika.

Selain itu Ibnu Sina memiliki karya-karya “esoterik” tentang “Filsafat Timur”-nya, diantaranya yaitu Risalah fi al-‘Isyq (Risalah tentaang Cinta) trilogi Hayy bin Yaqdzan (Hidup Putra Kesadaran),  Risalah al-Thair (Risalah tentang Burung) dan Salaman wa Abshal, tiga bab terakhir Al-Isyarat dan Manthiq al-Masyriqiyin  (Logika Orang-Orang Timur), yang merupakan bagian dari karya lebih besar yang sekarang tidak ditemukan lagi. 

Dalam bidang ilmu pengetahuan, Ibnu Sina juga menyusun banyak risalah kecil tentang persoalan persoalan khusus dalam fisika, meteorologi, dan yang lain juga bagian-bagian yang terkandung dalam kumpulan yang lebih besar, khususnya Al-Syifa’, sebagai karya yang mengandung uraian yang paling lengkap dari pandangannya tentang zoologi, botani, geologi, dan psikologi, yang dalam filsafat Paripatetik dan berseberangan dengan pandangan mazhab berikutnya seperti Isyraqi, dianggap sebagai cabang fisika, atau filsafat alam.

Tentang kedokteran, Ibnu Sina mengarang Qanun, atau Canon, yang barangkali merupakan satu-satunya karya yang  paling berpengaruh dalam sejarah kedokteran dam masih diajarkan di Timur saat ini, Urjuzah fi al-Thibb (Sajak tentang Kedokteran), yang mengandung dasar-dasar kedokteran Islam dalam bentuk saja yang mudah diingat, serta sejumlah besar risalah dalam Bahasa Arab dan Persia tentang beragam penyakit dan obat-obatan.

Disamping karya-karya ilmiah-ilmiah dan filsafatnya, Ibnu Sina menulis banyak sajak   dalam bahasa Arab dan Persia. Salah satunya Al-Qashidat al-‘Ainiyah (Ode tentang Jiwa) yang pantas menjadi yang paling terkenal. Lebih dari itu, ia menulis beberapa karya keagamaan khusus seperti pengertian takdir dan kebebasan berkehendak, tapi jugaa memberikan ulasan atas sejumlah ayat Al-Quran. 

Kategori terakhir ini memiliki arti penting yang istimewa. Karena terutama dalam ulasan dan komentar inilah Ibnu Sina berusaha menyelaraskan akal dan wahyu dengan mengikuti garis yang telah dirintis al-Kindi, al-Farabi dan Ikhwan al-Suhrwardi hingga akhirnya dipetik buahnya oleh Mirdamad dan Mulla Sadra

Demikianlah tulisan dan penjelasan mengenai Ibnu Sina dan Sejarah Hidup Dokter yang Serba Bisa. Semoga dengan adanya tulisan ini bisa memberikan wawasan dan juga pemahaman bagi segenap pembaca sekalian, adapun penulis artikel ini adalah Ai Ahmad Faisal. Semoga bermanfaat, trimakasih,
-FaktaTokoh-

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Ibnu Sina dan Sejarah Hidup Dokter Serba Bisa"

Posting Komentar